Pages

Rabu, 10 Juli 2013

Perkembangan Ekonomi Rakyat Indonesia

Melemahnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa, mulai berimbas ke Indonesia, dengan turunnya ekspor. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012 masih bisa mencapai 6,23% (YoY) dan merupakan salah satu yang tertinggi di Asia setelah China yang tumbuh sebesar 7,8% (YoY), namun lebih rendah dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 sebesar 6,5%. Pertumbuhan ini juga lebih rendah dibandingkan tahun 2011 yang mampu mencapai 6,5%. Adapun nilai PDB Indonesia atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 2012 mencapai IDR 2.618,1 trilyun, naik sebesar IDR 153,4 trilyun dibandingkan tahun 2011 yang mencapai IDR 2.464,7 trilyun.                                       
Berdasarkan penggunaannya, laju pertumbuhan sektor tertinggi pada tahun 2012 terjadi pada komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi fisik sebesar 9,81% (YoY). Meski mengalami laju pertumbuhan tertinggi, secara kuartalan pertumbuhan sektor PMTB mengalami penurunan cukup signifikan. Pada kuartal IV 2012 secara year on year, sektor PMTB tumbuh sebesar 7,29% menurun dibandingkan kuartal sebelumnya yang mampu mencapai pertumbuhan sebesar 9,80%. Bahkan pada kuartal II 2012 PMTB tumbuh sebesar 12,47% (YoY). PMTB memilikimultiplier effectyang luas karena tidak hanya mendorong sisi produksi, namun juga menstimulasi sisi konsumsi. PMTB akan mendorong pembukaan dan perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, yang nantinya akan menstimulasi konsumsi masyarakat.
Selain PMTB, pertumbuhan ekonomi di tahun 2012 juga ditopang oleh Konsumsi Rumah Tangga, tercatat tumbuh sebesar 5,28% (YoY). Sedangkan, sektor Konsumsi Pemerintah yang diharapkan menberikan sumbangan optimal pada pertumbuhan ekonomi nasional hanya tumbuh sebesar 1,25% (YoY).
Sementara itu, tekanan pelemahan ekonomi global berimbas pada melambatnya ekspor nasional karena berkurangnya permintaan dari negara tujuan ekspor. Di tahun 2012 ekspor Indonesia tercatat tumbuh sebesar 2,01% (YoY). Sementara itu, impor tumbuh jauh lebih tinggi yaitu sebesar 6,65% (YoY). Secara kuartalan, di kuartal IV 2012, impor Indonesia meningkat pesat, tumbuh sebesar 6,79% (YoY) padahal pada kuartal sebelumnya mengalami pertumbuhan minus 0,17% (YoY). Peningkatan impor ini diakibatkan oleh meningkatnya impor non migas dan migas. Selain itu, kenaikan impor juga dipengaruhi oleh meningkatnya impor bahan baku dan barang modal. Di tahun 2012, impor bahan baku tercatat sebesar IDR 140.127,6 juta, atau tumbuh 7,02% dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar IDR 130.934,3 juta. Sementara itu, impor barang modal di tahun 2012 mencapai IDR 38.154,8 juta, tumbuh sebesar 15,24% dibandingkan tahun 2011 yang tercatat sebesar IDR 33.108,4 juta. Laju pertumbuhan impor yang lebih tinggi dibandingkan komponen ekspor menyebabkan Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan.


Dalam kondisi perekonomian global yang tidak menentu, nampaknya Indonesia masih akan mengandalkan konsumsi dalam negeri dan investasi untuk menggenjot pertumbuhan ekonominya di tahun 2013 ini karena kontribusi ekspor belum bisa diharapkan akibat permintaan global yang sedang menurun.

Menilik Sistem Pembiayaan Pembangunan di Indonesia

Pada dasarnya sumber pembiayaan pembangunan dapat diperoleh dari sumber pembiayaan konvensional dan non-konvensional. Sumber pembiayaan konvensional berasal dari pendapatan daerah/kota (pajak, retribusi, hibah dll), sedangkan sumber pembiayaan non-konvensional berasal dari kerjasama pihak pemerintah dengan stakeholder lain yang terkait baik swasta maupun masyarakat seperti joint venture, konsesi, konsolidasi lahan dll. Intrument pembiayaan non-konvensional inilah yang biasanya menjadi sumber pembiayaan alternatif apabila pemerintah  mengalami kendala pendanaan dalam melakukan suatu pembangunan.

Dari berbagai jenis instrumen pembiayaan yang ada ternyata hanya beberapa saja yang telah diterapkan di Indonesia secara intensif dan umumnya masih bersifat konvensional (pajak, pinjaman, retribusi dll). Mengingat makin terbatasnya keuangan negara, maka akan sangat bermanfaat apabila potensi yang dimiliki masing-masing di daerah digali secara optimal, khususnya bagi instrumen keuangan yang bersifat non-konvensional.

Pembiayaan non-konvensional berupa betterment levies pernah diterapkan di DKI Jakarta. Betterment levies adalah tagihan modal (capital charges) yang ditujukan untuk menutupi biaya modal dari investasi prasarana. Tujuannya tidak lain untuk mendorong masyarakat yang memperoleh manfaat dari adanya prasarana umum agar turut menanggung biayanya. Dengan demikian, pungutan ini dikenakan langsung kepada mereka yang memperoleh manfaat langsung dari adanya perbaikan prasarana umum tersebut. Namun ternyata dalam pelaksanaannya di DKI Jakarta sering menemui hambatan sehingga untuk saat ini tidak diterapkan kembali.

Adapun beberapa jenis instrumen non-konvensional lainnya yang sudah mulai diterapkan secara selektif dibeberapa tempat di Indonesia namun masih dalam taraf penjajagan, seperti linkage dan land readjustment.

Dalam pembiayaan linkage, developer diharuskan menyediakan dan membiayai prasarana yang sejenis di daerah lain yang kurang diinginkan, dalam rangka mendapatkan persetujuan pembangunan di daerah yang mereka inginkan. Metode semacam ini di Indonesia sudah mulai dikenal dan diterapkan oleh pemerintah, namun masih terbatas dalam sektor perumahan. Pemerintah melalui Menteri Negara Perumahan Rakyat menetapkan bahwa developer perumahan perlu menyeimbangkan pembangunan perumahan mewah, sedang dan sederhana; dengan kata lain para developer diwajibkan untuk melakukan pembangunan perumahan sederhana sebagai kompensasi diberikannya izin untuk membangun perumahan mewah. Adanya ketentuan ini, secara tidak langsung telah membantu pemerintah dalam penyediaan rumah sederhana dan atau sangat sederhana.

Sedangkan untuk land readjustment, walaupun belum merupakan penerapan land readjustment secara murni, di Indonesia telah dilaksanakan program semacam land readjustment berupa KIP (Kampoeng Improvement Program), Konsolidasi Tanah ( Land Consolidation), dan Peremajaan Kota (Urban Renewal).

Melihat beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menerapkan beberapa sumber-sumber pembiayaan alternatif ini patut kita apresiasi. Namun masih dibutuhkan pengeksplorasian lebih lanjut terkait sumber-sumber non-konvensional sehingga nantinya bisa diterapkan di Indonesia. Pengeksplorasian ini mungkin bisa berdasar atas studi kasus dari negara-negara di dunia yang telah berhasil mengimplementasikan konsep pembiayaan alternatif mereka. Contohnya seperti public-private partnership yang dilakukan di (The Partnerships Victoria Framework), dimana inti dari dari kerjasama antar pemerintah dan pihak swasta ini tidak lain untuk meningkatkan partisipasi pihak swasta dalam pembangunan.

Dengan adanya eksplorasi dan pengkajian sumber-sumber non-konvensional lainnya diharapkan permasalahan-permasalahan pembiayaan pembangunan di Indonesia berkurang dan proses pembangunan dapat berjalan lancar demi kemaslahatan masyarakat Indonesia.


sumber : kompasiana

Kamis, 04 Juli 2013

Wanita dengan Angka Kematian

Kesejahteraan ibu dan anak yang dipengaruhi oleh komponen mortalitas terkait erat dengan proses kehamilan, kelahiran dan paska kelahiran. Ketiga periode tersebut akan menentukan kualitas sumber daya manusia yang akan datang.
Tinggi rendahnya angka mortalistas juga mempengaruhi jumlah penduduk serta menjadi tolak ukur tingkat kesehatan masyarakat dan standar kehidupan suatu kelompok masyarakat. (Arthur Haupt and Thomas T. Kane, Population Handbook, 2001). Mortalitas adalah hilangnya tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup (Budi Utomo, 1985).

Masalah kesehatan dan mortalitas sangat erat hubungannya dengan Angka Kematian Ibu (AKI) atau lebih dikenal dengan istilah maternal mortality (kematian maternal). Kematian maternal adalah kematian perempuan hamil atau kematian dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan tanpa mempertimbangkan umur dan jenis kehamilan sebagai komplikasi persalinan atau nifas, dengan penyebab terkait atau diperberat oleh kehamilan dan manajemen kehamilan, tetapi bukan karena kecelakaan.

Tiga faktor utama penyebab kematian ibu di Indonesia adalah
1. Faktor medis (langsung dan tidak langsung)
2. Faktor sistem pelayanan (sistem pelayanan antenatal, sistem pelayanan persalinan dan sistem pelayanan pasca persalinan dan pelayanan kesehatan anak)
3. Faktor ekonomi, sosial budaya dan peran serta masyarakat (kurangnya pengenalan masalah, terlambatnya proses pengambilan keputusan, kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, pengarusutamaan gender, dan peran masyarakat dalam kesehatan ibu dan anak).

Untuk menurunkan angka kematian ibu yang masih tinggi diperlukan peran serta semua pihak, langkah-langkah yang dapat diambil diantaranya adalah:
1. Memberikan advokasi kepada para pemegang kebijakan, agar dapat membantu mengelurkan kebijakan-kebijakan dan program-program guna penurunan angka kematian ibu.
2. Memberikan KIE kepada setiap elemen masyarakat mengenai pentingnya kesehatan ibu dan penurunan angka kematian ibu.
3. Menambah dan melatih tenaga-tenaga kesehatan agar bisa membantu pengentasan masalah kesehatan khususnya membantu dalam proses persalinan ibu.
4. Memberikan pelatihan kepada dukun tradisional dan mengikutsertakan dukun tradisional pada sistem rujukan dalam proses persalinan ibu melahirkan sehingga proses persalinan ibu dapat ditangani oleh tenaga-tenaga professional.
5. Perlu ditingkatkannya akses pada sarana dan pelayanan kesehatan sehingga dapat menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah terpencil.
6. Mengubah paradigna masyarakat mengenai pentingnya kesehatan ibu dan peran serta para ibu dalam proses menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan.

Sumber: faozangea

Keefektifan BLSM Untuk Rakyat Dengan Kenaikan BBM

Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) adalah sebuah program dari pemerintah untuk memberikan bantuan dana kepada 15 juta masyarakat miskin.

Namun yang menjadi pertayaan saat ini adalah 'seberapa efektif kah BLSM dengan kenaikan BBM pada masyarakat'?

Menyandang predikat sebagai orang miskin dan dikasihani orang lain tak pernah terlintas di benak bangsa manapun di dunia ini, termasuk Indonesia karena pada dasarnya mereka ingin hidup serba berkecukupan.

Namun, kondisi perekonomian di tiap negara berbeda. Biasanya pendapatan per kapita menjadi tolok ukur kesehatan perekonomian mereka. Khusus di Indonesia pendapatan per kapitanya mencapai 3.600 dolar Amerika Serikat (AS) per tahun 2011 atau meningkat dibandingkan tahun 2010 di posisi dolar (AS).

Secara otomatis harga bahan bakar minyak (BBM) misalnya premium antarnegara satu dan lainnya ikut berbeda. Contohnya di Singapura RP17.000/liter, Australia RP14.200/liter, Vietnam RP10.000/liter, Malaysia RP7.000/liter dan Indonesia masih RP4.500/liter.

Dengan adanya rentang harga jual yang sangat lebar di pasar global, membengkaknya beban subsidi pemerintah, dan terjadi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah mulai mengambil sikap. Salah satunya membatasi konsumsi BBM di Tanah Air dengan memilih opsi menaikkan harga BBM meskipun Sabtu dini hari (31/3) pukul 01.00 WIB seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna membuahkan kesepakatan untuk menunda kenaikan harga BBM per 1 April 2012.

Untuk menyelamatkan daya beli rakyat agar tetap bisa mengonsumsi bahan pokok yang umumnya mengalami kenaikan harga jelang peningkatan harga BBM, pemerintah sudah berancang-ancang menyalurkanprogram kemanusiaan bertajuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLSM) sekaligus sebagai penyempurna Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Kebijakan tersebut merupakan kompensasi pemerintah terhadap kekhawatiran terjadinya dampak inflasi karena dipicu kenaikan harga BBM bersubsidi.

Mengenai besaran dana BLSM yang siap digulirkan kepada sejumlah KK di Tanah Air, saat ini pemerintah telah menganggarkan dana senilai RP25 triliun. Angka tersebut lebih besar kalau dibandingkan dengan pencairan dana BLT tahun 2005 mencapai RP4,6 triliun dan tahun 2008 senilai RP14,1 tahun.

Menanggapi formula BLSM yang direncanakan pemerintah, Ketua Yayasan LEmbaga Perlindungan Konsumen/YLPK Jatim, Said Utomo mengemukakan, idealnya kewajiban pemberian BLSM rakyat miskin terutama janda dan orang berusia lanjut bukn hanya menunggu kebijakan dari Pemerintah Pusat.

Masih dikatkan Said, ada baiknya BLSM yang akan disalurkan pemerintah tidak hanya dilakukan saat kenaikan harga BBM, melainkan ketika rakyat benar-benar membutuhkan bantuan guna melanjutkan keberlangsungan hidupnya.

Di sisi lain, pihaknya juga heran kalau ada beberapa kepala daerah yang ikut melakukan demo menolak kenaikan harga BBM.

Sementara itu, terkait seberapa pentingnya BLSM sebagai solusi pengendali gejolak pasar akibat kenaikan harga BBM, Pengamat Sosial Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto menyatakan, BLSM tidak akan efektif bagi rakyat. Penyalurannya bisa dikatakan hanya "numpang" lewat atau sulit dinikmati Si Miskin.

Tatkala dana BLSM itu cair maka akan langsung berpindah tangan ke rentenir atau pihak lain yang sampai sekarang menjadi tempat bagi SI Miskin berhutang. Untuk menyiasatinya, jalan keluar yan bisa dilakukan bagi mereka da baiknya bukan secara homogen atau bukan program instan melainkan program berkesinambungan.

Dan menurutu saya, bisa dikatakan program BLSM ini kurang efektif. Karena walaupun masyarakat kurang mampu mendapat dana bantuan, tapi tetep saja tidak akan memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan naik BBM. Karena semua harga pangan pasti juga ikut naik.

sumber : antarjatim